TIRTAYATRA : Pura Candi Cheto – Candi Sukuh – Candi Sambisari – Candi Prambanan (Jawa Tengah & Yogyakarta)
Harga Paket | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|
Jumlah Peserta | Min 02 Orang | 03 - 06 Orang | 07 - 10 Orang | 11 - 17 Orang | 18 - 30 Orang | 31 - 40 Orang |
Hotel Bintang 4 | Rp……. | Rp……. | Rp……. | Rp……. | Rp……. | Rp……. |
Hotel Bintang 3 | Rp. 2.103.500 | Rp. 1.538.500 | Rp. 1.496.000 | Rp. 1.342.000 | Rp. 1.170.000 | Rp……. |
Hotel Bintang 2 | Rp. 2.065.000 | Rp. 1.513.000 | Rp. 1.463.000 | Rp. 1.307.000 | Rp. 1.131.500 | Rp……. |
Melati | Rp. 1.922.000 | Rp. 1.417.500 | Rp. 1.340.500 | Rp. 1.177.000 | Rp. 988.500 | Rp……. |
Penjelasan Harga :
Penjelasan tentang Pura yang dikunjungi :
Candi Cetho (cetho = jelas, jernih tanpa halangan) merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu. Pada teras ketujuh di Candi Cheto, bagian selatan gapura terdapat tulisan :
...... peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397.….
Artinya: ... peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka .... Bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras keenam tersebut, berarti pada tahun Isaka 1397 (tahun 1475 Masehi) atau pada abad XV, Candi Ceto telah berdiri kukuh.
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit.
Di beberapa teras terdapat pendapa dan bangunan kayu tempat arca Brawijaya V dan pengawalnya serta sebuah arca lingga. Di sebelah timur kompleks candi terdapat sebuah meru yang di dalamnya menyimpan sebuah lingga sebagai simbol jenis kelamin laki-laki dan yoni sebagai simbol kelamin perempuan. Di timur candi, terdapat Puri Taman Saraswati. Taman ini merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu kepada Sang Hyang Aji Saraswati. Patung Dewi Saraswati adalah pemberian dari bupati Gianyar A.A Gde Agung Barata untuk bupati Karanganyar Rina Iriani sebagai bentuk kerjasama dan ikatan persaudaraan antara masyarakat Hindu Bali dan Hindu jawa. Di kawasan taman, setiap peringatan Hari Saraswati yang diadakan setiap 210 hari selalu digelar kesenian tradisional Jawa dan Bali.
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Cabdi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Pada trap kelima dan keenam terdapat terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca Sabdapalon dan nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut. Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya.
Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.
Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual patirtan. Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan. Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi warga Hindu di Karanganyar, bahkan Hindu di Nusantara. Ini bisa dipahami mengingat bangunan candi di wilayah pegunungan tua ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos Hindu. Bahkan sesuai cerita yang berkembang di Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai menyucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah. Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.. Teras pertama candi : Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Teras kedua candi : Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala yang biasa ada, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat banyak patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor” dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Teras ketiga candi : Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas. Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang merupakan tempat menaruh sesajian.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama : Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan. Relief kedua : Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai para raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga : Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.
Relief keempat : Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya. Relief kelima : Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya. Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Program Perjalanan :
Tiba di Yogya, Program Tirta Yatra akan di awali dengan persembahyangan di Pura Candi Cheto yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit oleh Raja Brawijaya. Kemudian dengan berjalan kaki, pemedek menuju Pura Saraswati yang terletak diatas Bukit tidak jauh dari Candi Cheto.
Dilanjutkan dengan mengunjungi Candi Sukuh. Disini dapat ditemukan Lingga dan Yoni sebagai symbol pemujaan dan ajaran Hindu. Selanjutnya menuju Hotel untuk Check In, Acara bebas. Makan Malam di Restoran.
Setelah makan pagi di hotel kemudian pemedek melakukan kunjungan ke Candi Sambisari yang merupakan situs yang baru ditemukan dengan Lingga Siwa yang terdapat didalam candi. Makan siang di Restoran dan dilanjutkan dengan menuju Candi Prambanan. Candi Prambanan, yang merupakan Candi Hindu terbesar di Indonesia. Disini akan ditemukan patung Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Kembali ke hotel dan acara bebas sampai waktu Makan Malam.
Setelah menikmati sarapan di hotel, Setelah itu peserta akan diantar kembali menuju Bandara Tiba di Bandara Ngurah Rai, Acara Selesai.
Harga Termasuk :
Harga Tidak Termasuk :
Tips Perjalanan untuk Anda :